About Lembata
Lembata Regency is a small island just adjacent to Flores Island in the west and Alor Island in the East. The island covers of 1,200 square kilometers with the population 100.000 people live on the irregularly shaped. Most of the people have converted to Catholicism, but there are about 8,000 Muslims and perhaps 6,000 followers of the old animist faith. Lewoleba, on the west coast, is the only.
Kabupaten Lembata adalah sebuah pulau kecil yang berdekatan dengan Pulau Flores di barat dan Pulau Alor di Timur. Pulau ini mencakup 1.200 km2 persegi dengan populasi 100.000 orang hidup dalam bentuk yang tidak teratur. Sebagian besar orang telah beralih ke agama Katolik, tetapi ada sekitar 8.000 Muslim dan mungkin 6.000 pengikut iman animisme lama. Lewoleba, di pantai barat, adalah satu-satunya.
History
Lembata was called Lomblen during the Dutch colonial era. After the World War II, the little town of Lewoleba started to grow. In the early 1950s, the first Bajo – semi nomadic fishermen – arrived from Adonara to build stilted huts on the tidal flats off Lewoleba. In the late 1950s, wild pig still roamed around Lewoleba and Hadakewa was still more important village. But when the government of Indonesia and the Catholic Church decided to base their activities in Lewoleba this made the little seaside town pre-eminent, and Hadakewa was relegated to a neglected sub-district capital.
Practically nothing is known of Lembata before the Europeans arrived. The islanders offer various legends of origin, including that they simply came out of a hole in the ground, some Lembatanese believe their ancestors sailed here from parts unknown, and on the South coast there are stones laid out to represent this craft.
Lembata disebut Lomblen selama era kolonial Belanda. Setelah Perang Dunia II, kota kecil Lewoleba mulai tumbuh. Pada awal 1950-an, orang Bajo pertama – nelayan semi nomaden - tiba dari Adonara untuk membangun pondok-pondok gubuk di dataran pasang surut pantai Lewoleba. Pada akhir 1950-an, babi liar masih berkeliaran di sekitar Lewoleba dan Hadakewa masih desa yang lebih penting. Tetapi ketika pemerintah Indonesia dan Gereja Katolik memutuskan untuk mendasarkan kegiatan mereka di Lewoleba. Dengan keputusan ini, kota kecil tepi pantai ini diunggulkan sedangkan Hadakewa berubah menjadi ibukota kecamatan dan sering diabaikan.
Secara praktis tidak ada yang diketahui tentang Lembata sebelum orang Eropa tiba. Para penduduk pulau menawarkan berbagai legenda asali, termasuk bahwa mereka hanya keluar dari lubang di tanah, beberapa orang Lembatan percaya leluhur mereka berlayar di sini dari bagian yang tidak diketahui, dan di pantai Selatan ada batu yang ditata untuk mewakili kerajinan ini.
Culture and Arts
Most of the villages maintain Koker (the temple huts), which kept outside the village. Koker is a kind of shrine to put offerings for the spirit of their ancestor in the form of food, cigarettes and betel nuts even animals to gain the favor of the supernatural world.
The very popular yearly event in this area is the Pesta Kacang – the Bean Festival. In the 1960s, the Bean Festival had almost died out, but under the tolerant eyes of the Catholic Church, the government gave it some encouragement as part of national wide policy to encourage some regional traditions.
The “New” Bean Festival last just three days where as in the past it was a weeklong. In the 1st day is a private celebration involving prayers and offerings to the local village spirits, both deified ancestors and the spirit of the land. The last two days are the most fun – thousands of people show up and join the dances (hamang), and of course to feast and drink a bit too much palm wine. These festivities might find in almost village such as at Lamagute in July, Mawa in August, Lawatolok in September, and Jontona in October, and the last festival is in November at Lamariang village.
Sebagian besar desa memelihara Koker (pondok kuil), yang disimpan di luar desa. Koker adalah semacam kuil untuk memberikan persembahan untuk roh leluhur mereka dalam bentuk makanan, rokok dan bahkan binatang untuk mendapatkan dukungan dari dunia supranatural.
Acara tahunan yang sangat populer di daerah ini adalah Pesta Kacang - Festival Kacang. Pada 1960-an, Festival Kacang hampir mati, tetapi dengan Gereja Katolik yang toleran, pemerintah memberikan dukungannya dalam kebijakan untuk membudidayakan beberapa tradisi regional tersebut.
Festival Kacang "Baru" hanya berlangsung selama tiga hari, karena di masa lalu itu berlangsung selama seminggu. Pada hari pertama adalah perayaan pribadi yang melibatkan doa dan persembahan kepada roh setempat, baik roh nenek moyang maupun roh penguasa setempat. Dua hari terakhir adalah yang paling menyenangkan - ribuan orang muncul dan bergabung dengan tarian (hamang), dan tentu saja berpesta dan minum arak. Perayaan ini dapat ditemukan juga di desa lain seperti di Lamagute pada bulan Juli, Mawa pada bulan Agustus, Lawatolok pada bulan September, dan Jontona pada bulan Oktober, dan festival terakhir adalah pada bulan November di desa Lamariang.
Service include :
- Transfer and Tours as per the itinerary.
- Air Fares Ticket from/to Bali - Maumere
- Hotel Accomodation based on in Larantuka, Maumere and Lewoleba Town.
- Home stay in Lamalera Village.
- Full board meals (Breakfast, Lunch, and Dinner).
- Land Transportation
- Entrance and Donation Fees.
- English Speaking Guide.
- Transfer dan Tour sesuai itinerary.
- Ticket Bali – Maumere - Bali
- Akomodasi Hotel di Larantuka, Maumere dan Lewoleba.
- Rumah tinggal di Desa Lamalera.
- Makan (Sarapan, Makan Siang, dan Makan Malam).
- Transportasi Darat
- Biaya Masuk dan Donasi.
- Tour guide Bahasa Inggris.
Service not include :
- Ticket Jakarta – Bali (PP)
- Sea Transportattion/boat in Lamalera for watching whale hunting attraction. Price about Rp. 150.000/pax
- Any personal expenses such as laundry services, phone, call, tipping, donation, soft and alcohol drink.
- Tiket Jakarta - Bali (PP).
- Transportasi laut/perahu di Lamalera untuk menyaksikan atraksi berburu ikan paus. Harga sekitar Rp. 150.000/orang.
- Pengeluaran pribadi apa pun seperti laundry, telepon, tips, donasi, minuman ringan dan alkohol.
What to bring :
Dress is casual, clothing should be light, preferably cotton with at least one long sleveed, shirt and pants, Bathing suit, thong or sandals, and sneakers or walking boots, lots of film, Camera, replacement batteries, and spares, sun-screen, insect repellent, sun glasses, sun hat, swimmers.
Gaun kasual, pakaian harus ringan, sebaiknya katun dengan setidaknya satu baju panjang, kemeja dan celana panjang, baju renang, sandal, dan sepatu kets atau sepatu bot, kamera, baterai pengganti, dan suku cadang, sun-screen, pengusir serangga, kacamata matahari, topi matahari.
